25 JUN — Setelah sekian lama dikonstruk sebagai pulau syurga oleh penjajah Belanda (diteruskan pemerintah Indonesia) dan diterima bulat-bulat orang Bali dengan melestarikan adat dan tradisi, Bali akhirnya bergejolak. Di kala orang Bali sedang asyik dengan kempen pilihanraya Presiden Indonesia, Presiden yang akan mengundurkan diri Oktober nanti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merubah Perpres (Peraturan Presiden) Tata Ruang Sarbagita dengan menerbitkan Perpres 51 Tahun 2014 yang berakibat perairan Teluk Benoa boleh direklamasi (dibangun pulau buatan).

Keputusan Presiden SBY ini segera direspon Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) dengan aksi turun ke jalan hampir seribu orang yang majoritinya anak muda pada minggu lalu (Selasa, 17 Jun 2014). Aksi ini adalah yang terbesar dalam banyak aksi yang pernah dianjurkan ForBALI dan dinilai bersejarah memandangkan orang Bali terkenal dengan virus “diam” yang ditular dunia pelancongan yang memaksa mereka ramah tamah dan berpura-pura indah. Barangkali pesan dari Musdah Mulia yang berkata, “Diam itu berbahaya. Orang baik harus banyak bicara sebab diam itu dianggap setuju dengan keadaan karut-marut” dijadikan pedoman.

ForBALI dalam aksinya menolak keras dan menggesa Presiden SBY mencabut segera Perpres 51 Tahun 2014 dan menghidupkan kembali Perpres 45 Tahun 2011 yang menyatakan perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi yang haram direklamasi. Penolakan ForBALI jelas, selain alasan reklamasi akan mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali Selatan. Reklamasi hanya akan menguntungkan segelintir pihak iaitu pelabur dan kroni-kroninya yang datang atas alasan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan orang Bali meski motif sebenarnya adalah keserakahan mengaut keuntungan. Sejahtera bagi pelabur adalah di saat orang Bali dipekerjakan sebagai tukang kebun, pelayan dan pengawal keselamatan.

Sudah fakta umum di Bali di kala air bersih dinikmati seenaknya oleh penghuni hotel dan villa mewah di kolam renang, orang Bali mengalami kekeringan air. Bayangkan dengan terbangunnya pulau buatan yang nantinya akan dibina lapangan golf, hotel-hotel mewah, pusat membeli belah dan pusat hiburan, krisis air diyakini akan semakin parah. Pembangunan Bali hanya cakap kosong kerana yang diberi keutamaan adalah tuan iaitu pelabur dan pelancong elit sedangkan hamba iaitu orang Bali dikesampingkan.

Advertisement

Pembangunan di Bali semakin tidak terkawal dan tidak manusiawi, siapapun yang pernah ke Bali pasti menyedari hal ini dengan lambakan hotel dan kesesakan jalan raya yang menghampiri Jakarta. Reklamasi bukan hal mendesak, lebih mustahak adalah mengurus semula Bali agar pembangunan bersifat berkelanjutan. Meski pembangunan berkelanjutan akan memberi manfaat panjang kepada orang Bali, sesungguhnya itu yang tidak diingini pelabur serakah yang cenderung kepada pembangunan berkehanyutan supaya cepat dikaut untungnya dan tatkala Bali rosak, mereka memburu destinasi baru untuk dihanyutkan. Begitu dan begitu seterusnya modus operandi mereka.

Karut marutnya dunia pelancongan di Bali diungkap jelas oleh Roberto Hutabarat, aktivis reformasi 1998 dalam kata-kata aluannya sempena pameran “Bali Alert: Peringatan Untuk Merawat Ingatan” yang berlangsung beberapa bulan lalu;

“Kebanyakan orang Bali dan para turis sudah kadung percaya dan tercuci otak oleh cetak biru promosi marketing pariwisata yang terus mencekoki imajinasi mereka dengan khayalan indah versi poskad pariwisata. Para tour guide tingkat hotel bintang lima sampai yang kelas Kuta Cowboy sekalipun pasti tak mau dan tak mau tau (atau jangan-jangan tak pernah tau) tentang cerita-cerita horor pembantaian manusia (Tragedi 1965) di balik teduhnya alur lembah sebuah tukad. Tak ada cerita dari sang tour operator kepada tamunya mengenai bagaimana racun-racun kimia mengendap dalam tanah di tengah rimbun hijau hamparan sawah. Turis hanya ingin melihat sawah yang hijau dan padi menguning yang siap dipanen. Mereka tentu tak tertarik dengan cerita di balik hamparan hijau dan padi menguning itu ada setumpuk persoalan tentang benih yang dikuasai pabrik, petani yang menjerit kerana subsidi pupuk dikorup oleh mafia pangan, buruh tani yang tak punya lagi tanah garapan, atau konflik air yang terjadi antar pemilik sawah. Cerita di balik keindahan dan kedamaian artifisial Bali tentu tak elok diungkap kepada tamu yang hendak berleha-leha menikmati spa”

Advertisement

Saya memberi tabik hormat kepada aktivis-aktivis yang bergabung di dalam ForBALI yang tidak pernah lelah dalam berlawan meski di atas kertas sukar untuk dimenangi menyedari sang lawan adalah pemerintah dan pelabur yang punya kuasa dan modal. ForBali adalah gerakan masyarakat sivil Bali dan lahir dari inisiatif anak muda Bali dari pelbagai latar belakang. Semangat yang menjadi dasar ForBALI adalah kepedulian dan rasa sayang akan Bali.

Pelbagai cara dilakukan ForBALI dalam memberi perlawanan; aksi, konsert dan diskusi yang bukan saja di Bali tetapi hingga ke Jakarta. Demi untuk bertahan, ForBALI menjual barangan seperti t-shirt dan mengadakan acara lelong seni selain dari sumbangan derma yang diterima daripada masyarakat termasuk dari warga asing baik yang bermukim di Bali mahupun yang sedang melancong dan peduli. Beberapa teman dari Malaysia yang sedang melancong di Bali juga saya dapatkan wang mereka untuk disalur ke ForBALI.

Sisi menarik dari perlawanan ini adalah ForBALI memunculkan band-band asal Bali di barisan hadapan seperti Superman is Dead, Navicula, The Hydrant, The Bullhead, Geekssmile, Nosstress, Goldvoice dan banyak lagi. Band-band ini mengambil alih peranan mahasiswa dengan memanfaatkan populariti mereka untuk tidak sekadar menghibur tetapi juga memberi pendidikan dan mencerdaskan penggemarnya untuk bersikap melawan ketidakadilan. Tidak hanya di Bali, gerakan perlawanan ini juga mendapat dukungan dari seniman-seniman luar Bali seperti Iwan Fals, Glenn Fredly, Seringai, Happy Salma, Marjinal, Djenar Messa Ayu, Sawung Jabo dan ramai lagi.

Perjuangan ForBALI yang mewakili orang Bali sangat menginspirasi dan maka itu wajib didukung semua kalangan yang memihak kepada keadilan dan kemanusiaan. Kerosakan di belahan dunia manapun akan memberi impak meski kecil kepada belahan dunia yang lain. Semoga Bali turut memberi inspirasi kepada orang Johor dan Pulau Pinang untuk mempertanyakan dampak buruk projek reklamasi di sana, juga orang Sabah terkait rencana penswastaan Pantai Tanjung Aru.

* Ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mewakili pandangan The Malay Mail Online