24 JULAI — Pilihanraya presiden Indonesia berakhir sudah. Pengundian telah berlangsung pada 9 Julai dan keputusan rasmi baru diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Julai lalu. Pemenangnya sudah diketahui iaitu pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang emperolehi undi sebanyak 70,997,833 atau 53,15% dari undi sah. Sementara itu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh undi sebanyak 62,576,444 atau 46,85% dari undi sah .

Pengiraan undi yang lama menimbulkan banyak pertanyaan dari kawan-kawan di Malaysia. Tidak seperti di Malaysia yang mengamalkan sistem kawasan iaitu dewan undangan negeri dan parlimen di mana keputusan dapat ditentukan di peringkat kawasan. Indonesia menganut sistem pengiraan berperingkat yang harus melalui beberapa tahap dari desa ke mukim, mukim ke daerah, daerah ke negeri dan negeri ke nasional sebelum disahkan secara rasmi. Sistem ini digunakan untuk pilihanraya legislatif memilih wakil rakyat dan juga pilihanraya presiden.

Pilihanraya presiden tahun ini terasa sangat berbeza, keterujaan warga untuk ikut terlibat dalam proses menentukan sangat tinggi. Di mana-mana masyarakat membicarakan pro dan kontra calon presiden masing-masing. Suasana ini tidak terjadi semasa saya berkesempatan hadir menyaksikan proses yang sama pada 2009. Menurut saya ini efek Jokowi, juga efek Prabowo terutama di kalangan mereka yang memilih untuk tidak peduli selama ini atau golongan putih (golput).

Meski demikian, hairannya peratusan warga yang tidak mengundi atau golput mengalami peningkatan berbanding 2009 (27.7%) iatu 29,8% (56,732,857). Adakah hampir 57 juta warga ini tidak mengundi kerana pilihan atas kesedaran atau masalah teknikal harus dikaji dengan mendalam. Namun begitu angka golput diramal akan lebih tinggi jika Jokowi dan Prabowo tidak ikut bertanding.

Advertisement

Gde Putra, seorang aktivis sosial di Bali yang golput sejak reformasi tetapi memilih untuk menggunakan hak pilihnya kali ini menyebut, Golput dalam pilihanraya kali ini berbahaya kerana Prabowo jelas berbahaya dengan gaya politiknya yang  kasar dan fasis kerana andai

Prabowo menang, golput adalah pilihan yang salah. Mengundi Jokowi bukan bererti mengidolakan dia secara mutlak kerana tentunya Jokowi akan menjadi musuh kita nanti, meski jauh lebih berbahaya bermusuh dengan Prabowo. Pilihanraya kali ini adalah memilih musuh termudah dan dia adalah Jokowi”. Sikap yang diambil sosok seperti Gde Putra ini banyak saya temui di kalangan aktivis dan pekerja seni.

Jika Gde Putra memilih musuh termudah, Ribka Alvaniah yang juga aktivis sosial dan “golput” di Bali tetapi menolak untuk golput kali ini, merasa kembali optimis dengan Indonesia kerana muncul seorang pemimpin dari kalangan orang biasa dari desa yang merakyat. Ribka yakin seorang Jokowi akan merubah banyak hal di negara ini mulai dari anak-anak kecil yang sekarang boleh bermimpi setinggi langit.

Advertisement

Ini yang saya namakan efek Jokowi dan juga efek Prabowo. Jokowi sebagai sosok harapan dan Prabowo sebagai sosok merbahaya. Meski begitu pilihanraya presiden ini akan lebih kompetitif dari segi visi misi berlandaskan nilai reformasi jika lawan Jokowi adalah seorang

sosok seperti “Jokowi” juga. Adalah menyedihkan setelah 16 tahun reformasi pelanggar hak asasi manusia seperti Prabowo masih diterima di kancah politik Indonesia. Ini kegagalan besar reformasi yang tidak mampu “membunuh” saki baki pemikiran Orde Baru dalam dunia perpolitikan Indonesia dan tanggungjawab ini harus dipikul pemerintah yang akan datang.

Pilihanraya ini juga diikuti dengan penuh minat banyak kalangan di Malaysia dan negara-negara lain kerana yang dipertaruhkan sangat tinggi; Jokowi adalah penerusan reformasi yang mendukung pluralisme, demokrasi dan kebebasan bertemu Prabowo penghakis reformasi yang didukung kelompok yang cenderung akan merosakkan demokrasi dan kebebasan serta menjadikan Islam di Indonesia semakin dekat dengan Malaysia.

Kemenangan Jokowi memberi harapan kepada pendemokrasian yang lebih baik di Malaysia. Jika pertarungan dimenangkan Prabowo yang merupakan jelmaan “Soeharto”, Barisan Nasional akan menyambutnya dengan gembira kerana ia memberi isyarat reformasi telah gagal dan kerana itu, tidak ada alasan Malaysia melakukan reformasi. Akan kedengaran kenyataan seperti, “Lihat saja Indonesia, 16 tahun reformasi akhirnya rindu zaman Soeharto”. Tun Mahathir terutamanya pasti akan tertawa girang merasa benar.

Sekarang masanya warga mengawal pemerintahan Jokowi mulai 20 Oktober mendatang supaya tidak melencong jauh. Pesan dari tim relawan Jokowi-JK untuk Jokowi yang dibacakan di Menteng pada 23 Julai boleh menjadi acuan;

— Mengembalikan negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, termasuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia.

— Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, profesional, demokratis dan terpercaya dan menuntaskan kasus-kasus korupsi tanpa pandang bulu.

— Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat kawasan perbatasan negara, daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan.

— Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

— Meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan reformasi agrarian serta menjaga keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

— Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.

— Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

— Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan.

— Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Indonesia yang maju, sejahtera, demokratis dan manusiawi tidak hanya memberi manfaat kepada warganya tetapi juga warga serantau.

* Pandangan di atas hanya pandangan peribadi penulis dan tidak mewakili pandangan Malay Mail Online.